Selasa, 26 April 2011

Kondom dan Program Kesehatan Reproduksi Remaja di Republik Demokrasi Kongo

Republik Demokrasi Kongo (RDK) yang terletak di Afrika Tengah mempunyai jumlah penduduk lebih kurang 66 juta jiwa mempunyai status kesehatan yang cukup memprihatinkan. Tingkat kematian ibu sebesar 990 kematian per 100.000 kelahiran hidup (diperkirakan 3.000 kematian per 100.000 kelahiran hidup dilaporkan pada wilayah-wilayah konflik). Hal ini membuat RDK menjadi salah satu negara dengan status kesehatan yang sangat memprihatinkan. Ratio fertilitas remaja juga merupakan yang tertinggi di dunia yaitu 220 kelahiran per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun. Prevalensi HIV pada orang dewasa diestimasi sekitar 4,2% hingga 5,1% dan jumlah estimasi orang dengan HIV adalah berkisar antara 450.000 sampai dengan 2.600.000 orang.
Tahun 2004, World Bank mengidentifikasi enam prioritas utama dalam rekonstruksi masalah sosial di RDK dan seluruhnya secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah kesehatan. Prioritas utama adalah menahan laju penyebaran HIV dan rehabilitasi sektor kesehatan. Departemen Kesehatan RDK mengidentifikasikan kesehatan reproduksi dan usaha pencegahan HIV/AIDS menjadi prioritas utama dalam strategi kesehatan mereka. Secara khusus program nasional kesehatan reproduksi dan program pencegahan HIV/AIDS membidik remaja sebagai target.
Sebagai bagian dari program kerjasama dari Belgian Development Cooperation Programme, dilakukan studi mengenai bagaimana pendekatan hak-hak reproduksi dapat berkontribusi terhadap kebutuhan kesehatan reproduksi dan seksualitas di kalangan remaja Kongo. Studi ini dilakukan di 2 kota yaitu Kinshasa dan Bukavu (April-May 2004). Remaja yang dilibatkan dalam studi ini adalah berusia 13-16 tahun baik yang masih bersekolah maupun yang tidak bersekolah (N=117). Studi ini bertujuan untuk membuka akses terhadap informasi mengenai kondom dan suplai kondom.
Kegiatan yang dilakukan untuk pengumpulan data selama studi ini berlangsung adalah dengan membentuk 11 kelompok terarah (4 di Kinshaha dan 7 di Bukavu). Wawancara terhadap koordinator program pendidikan remaja (1 di Kinshaha dan 1 di Bukavu).
Hasil yang didapat dari studi ini adalah:
• Banyak remaja tidak menunggu hingga menikah untuk melakukan hubungan seksual mereka yang pertama dan tidak juga menggunakan proteksi.
• Kurangnya proteksi membawa dampak terhadap remaja perempuan.
• Pengetahuan remaja mengenai pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan sangat rendah dan terkadang salah.
• Banyak remaja meragukan keefektivan dari kondom dalam mencegah kehamilan.
• Remaja tidak mengetahui kemana harus mencari kondom gratis.
• Di Bukavu, huruf ”K” dari penggunaan Kondom telah diubah menjadi ”Percaya Diri”
• Keputusan untuk tidak menyediakan kondom tertera dalam kebijakan yang dibuat oleh gereja.
• Di Bukavu, koordinator program menegaskan bahwa ada risiko terhadap sosialisasi kondom karena mereka hanya mempromosikan abstinensia dan setia sebagai satu-satunya metode dalam mencegah tertular HIV.
Kesimpulan dari studi ini adalah akses remaja dan anak-anak yang berisiko, seperti anak jalanan, terhadap pendidikan seksualitas dan informasi mengenai kondom serta ketersediaan suplai kondom harus dilihat dari sudut pandang yang lebih besar, di mana hal ini termasuk dalam kebutuhan kesehatan reproduksi remaja dan hak remaja untuk mendapatkannya. Dalam konteks di mana sistem kesehatan tidak berjalan dengan baik, rasio fertilitas remaja sangat tinggi dan prevalensi HIV juga meningkat, pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi juga sangat rendah. Pendidikan seksualitas yang komprehensif, informasi yang akurat mengenai kondom dan ketersediaan suplai kondom yang adekuat adalah hal-hal yang esensial bagi remaja di mana mereka dapat mempunyai pilihan-pilihan yang terkait dengan masalah seksualitasnya.(mp)

Kaitan Narkoba dan Kesehatan Reproduksi

Sering sekali orang bertanya kepada saya, apa kaitannya antara penggunaan narkotika, zat adiktif dan bahan berbahaya (narkoba) dengan kesehatan reproduksi (kespro). Pertanyaan itu justru menimbulkan pertanyaan baru di benak saya, “mengapa hal itu ditanyakan, memangnya tidak ada kaitan antara narkoba dan kesehatan reproduksi?” Mari kita kita flash back dulu sebelum masuk ke topik utama “ Kaitan narkoba dan kespro”
Yayasan Mitra Inti telah memasuki usianya yang kesebelas tahun saat ini, di mana fokus utama pengabdiannya adalah di bidang seksualitas dan kesehatan reproduksi. Mungkin bagi orang yang hanya mengerti arti harfiah dari kespro, ruang lingkupnya sempit sekali. Kespro hanya diartikan mengurusi orang hamil, melahirkan, menstruasi, menopause, keluarga berencana dsb. Padahal, setiap hal terkait organ reproduksi, terkait kemampuan menghasilkan generasi penerus, dan bertanggung jawab terhadap kesehatan keturunan kita selanjutnya juga terkait erat dengan kespro. Itupun masih terlalu sempit untuk arti sebuah kespro.
Dengan demikian, apabila kita sendiri sebagai manusia yang dapat bereproduksi, tidak dapat menghasilkan keturunan yang benar-benar sehat sesuai definisi WHO, yaitu sehat fisik, mental, sosial, maka dapat dikatakan kita tidaklah sehat secara reproduksi. Dengan demikian akan banyaklah orang di sekitar kita yang sebenarnya tidak memenuhi syarat dapat disebut sehat secara reproduksi. Apalagi orang-orang yang tidak mampu bereproduksi, dalam bahasa awam disebut mandul yang umumnya merupakan kontribusi dari kedua pihak baik laki-laki maupun perempuan.
Kesehatan reproduksi adalah sehat secara fisik mental sosial dan bukan semata-mata tidak adanya penyakit atau ketidakmampuan dalam sistem, fungsi dan proses reproduksi. Satu saja dari syarat itu tidak terpenuhi maka tidak dapat disebut sehat reproduksinya. Misalnya apabila seluruh organ reproduksinya sebenarnya sehat dan dapat berfungsi normal, namun bila dia memiliki beban pikiran yang berat, mungkin akan mengalami kesulitan untuk memiliki keturunan karena ada hormon yang turut mempengaruhi kesuburannya saat itu dan mengurangi kemampuannya untuk dapat disebut subur.
Mari kita kembali ke topik utama, apa kaitan antara narkoba dan kespro? Sudah jelas sekali dalam beberapa teori, literatur dan hasil studi sebelumnya yang membahas kaitan antara hal ini. Secara teori, narkoba sendiri mempengaruhi kemampuan seseorang untuk dapat melakukan hubungan seksual, menurunkan kualitas sperma dan sel telur, meningkatkan atau menurunkan gairah/libido sehingga secara tidak langsung mempengaruhi hubungan seksual juga (jadi menggebu-gebu melakukan hubungan seks dengan siapapun tanpa pandang bulu, atau sama sekali tidak bergiarah untuk melakukannya, tergantung jenis narkoba yang dipakainya).
Bagaimana dengan fakta yang ditemukan di lapangan? Para pecandu narkoba umumnya aktif secara seksual, baik laki-laki maupun perempuan, baik dilakukan secara sadar maupun tidak sadar (dalam kondisi high/pedaw). Penggunaan narkoba membuat mereka tidak berpikir panjang akan akibat dari hubungan seksual yang mereka lakukan. Namun demikian, walaupun aktif seksual bukan berarti mereka mempunyai informasi akurat mengenai aspek seksualitas dan kesehatan reproduksi, karena umumnya pengetahuan mereka mengenai hal itu sangat terbatas. Jangankan aspek pencegahan kehamilan atau tertular infeksi menular seksual (IMS) yang dapat dicegah dengan menggunakan kondom, aspek yang sangat sederhana tentang akibat dari hubungan seks yang tidak aman dapat menyebabkan kehamilan dan IMS-HIV/AIDS saja tidak mereka ketahui sebelumnya.
Akibatnya, dalam sebuah studi ditemukan bahwa dari perempuan pecandu yang sudah aktif seksual, 40% di antaranya sudah pernah mengalami aborsi dan 80% dari mereka sudah pernah mengalami IMS, termasuk HIV/AIDS!
Mereka umumnya melakukan hubungan seksual dengan teman sesama pecandu, pacar, saudara, orang baru dikenal ataupun bandar untuk mendapatkan narkoba. Jadi banyak juga yang menjual jasa seks untuk ditukar dengan narkoba. Ada juga yang menjadi korban dari kelakuan teman atau pacarnya, yaitu dalam minuman mereka dimasukkan obat-obatan yang menyebabkan mereka kehilangan kesadaran, dan saat bangun, mereka sudah tidak perawan lagi, atau tiba-tiba satu bulan kemudian dia mendapati dirinya hamil dan tertular IMS!
Dalam kehidupan pecandu, sudah jamak apabila memiliki pasangan seksual lebih dari 1 orang dikarenakan adanya kebutuhan untuk mendapatkan narkoba tadi, terutama di saat tidak punya uang untuk membeli. Pecandu yang pernah berhubungan seksual dengan lebih dari 10 orang juga tidak aneh lagi, demikian pula halnya dengan pecandu perempuan yang sudah pernah aborsi lebih dari 1 kali juga sudah jamak terjadi. Hal yang lebih membuat miris adalah aborsi yang dilakukannya umumnya secara tidak aman, dalam arti dilakukan oleh bukan orang yang berkompeten di bidangnya, tidak menggunakan alat-alat steril dan tidak diakui dalam dunia medis, sehingga menyebabkan tingginya risiko terjadinya kematian. Belum lagi apabila pecandu ini juga sudah terinfeksi HIV, bila alat aborsi yang digunakan setelah menolong dia tidak disteril, lalu dipakai untuk melakukan aborsi pada orang lain, maka alat tersebut dapat menjadi sarana penularan HIV di antara para pasien aborsi tidak aman! Sudah dapat dibayangkan tingginya penularan HIV yang terjadi di fasilitas pelayanan aborsi tidak aman ini.
Pecandu yang tidak melakukan aborsi, bukan berarti pula dapat menjalankan kehamilannya den gan aman. Pecandu perempuan yang masih memakai narkoba selama hamil, dapat menyebabkan keguguran, lahir prematur, lahir mati atau bayi lahir dalam kondisi sakaw (gejala putus obat). Selain itu, pecandu perempuan yang hamil juga rentan terkena kekerasan seksual dari suami, pacar, bandar dsb yang dapat membahayakan kehamilannya. Bahkan ada seorang pecandu hamil yang didorong seniornya di panti rehabilitasi dari atas tangga sampai jatuh ke bawah dan mengalami keguguran, perdarahan hebat sampai menyebabkan kematian!
Jadi, apakah seorang pecandu yang menjalani proses reproduksi, dapat dikatakan sehat? Silakan dijawab sendiri berdasarkan artikel ini. Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak kami di redaksi@kesrepro.info. Terima kasih
Penulis: Laily Hanifah

Strategi Pembinaan Kesehatan Reproduksi Anak Usia Pendidikan Dasar

Di negara-negara berkembang 12,2 milyard anak usia di bawah 5 tahun meninggal setiap 5 tahun, dengan penyebab kematian yang sebenarnya dapat dicegah hanya dengan beberapa dolar saja. Sebagian besar dari mereka meninggal karena ketidak acuhan dunia, karena kemiskinannya. Walaupun kelompok usia lanjut akan naik dua kali lipat pada tahun 2005, akan tetapi proporsi terbesar adalah usia di bawah 15 tahun diperkirakan 30,2%; angkatan kerja bertambah dengan pertumbuhan 2,3% dan wanita yang memasuki pasar kerja meningkat 4 kali lipat pada tahun 2000 (Depkes, 1999).
Pernah diberitakan ada seorang bayi yang mati di pangkuan ibunya sebelum sempat mendapatkan imunisasi, walaupun kenyataan menunjukkan bahwa 8 dari 10 anak di dunia telah mendapatkan vaksinasi untuk melawan 5 penyakit utama yang sering menyerang anak-anak, tidak akan dapat membendung duka orang tua.
Sejak tahun 1980 angka kematian bayi telah turun 25% sedangkan angka harapan hidup meningkat menjadi 65 tahun. Jurang antara si miskin dan si kaya, antara satu populasi dengan lainnya, antara umur, seks, terlihat semakin mendalam.
Sehingga sebagian orang di dunia berpendapat bahwa sekarang ini setiap langkah kehidupan mulai dari anak-anak sampai orang tua mulai dibayang-bayangi oleh kemiskinan, ketidakadilan dan beban penderitaan serta penyakit.
Untuk sebagian orang, prospek peningkatan angka harapan hidup justru terlihat sebagai hukuman, bukan anugerah. Walaupun sebelum akhir abad ini, kita sudah dapat hidup di dunia tanpa poliomyelitis (radang akut sumsum tulang belakang disebabkan adanya virus), tanpa kasus baru lepra, kematian neonatal akibat tetanus dan meastes, tapi dana yang dipergunakan untuk menjaga dan meningkatkan taraf kesehatan di negaranegara berkembang saat ini, hanyalah sekitar 4 dolar Amerika. Suatu jumlah yang kirakira sama dengan uang recehan atau uang kembalian yang biasa terdapat di kantong atau dompet orang-orang di negara maju.
Seorang yang hidup di negara termiskin, memiliki angka harapan hidup 43 tahun, di negara maju memiliki angka harapan hidup 78 tahun (WHO, 2000 ). Seorang yang kaya dan sehat memiliki angka harapan hidup dua kali lebih panjang daripada orang miskin dan sakit. Laporan ini pertama kali ditujukan untuk menguji beban kesakitan yang tidak saja disebabkan oleh penyakit, tapi juga oleh umur, karena ternyata penyakit sangat dipengaruhi oleh spektrum umur. Oleh sebab itulah analisis status kesehatan telah dilaksanakan mulai dari bayi, anak, remaja, orang dewasa dan orang tua.
Seorang yang hidup di negara termiskin, memiliki angka harapan hidup 43 tahun, di negara maju memiliki angka harapan hidup 78 tahun (WHO, 2000). Seorang yang kaya dan sehat memiliki angka harapan hidup dua kali lebih panjang daripada orang miskin dan sakit. Laporan ini pertama kali ditujukan untuk menguji beban kesakitan yang tidak saja disebabkan oleh penyakit, tapi juga oleh umur, karena ternyata penyakit sangat dipengaruhi oleh spektrum umur. Oleh sebab itulah analisis status kesehatan telah dilaksanakan mulai dari bayi, anak, remaja, orang dewasa dan orang tua.
Berdasarkan data yang tersedia dan dapat dipercaya serta layak untuk dipertimbangkan, 10 penyebab utama dari kematian, kesakitan dan ketidak mampuan / serta kecacatan telah dapat diidentifikasi. Penjelasan WHO (2000) tersebut dilakukan untuk menjembatani kesenjangan yang ada dalam masalah kesehatan, memperkirakan tren kesehatan di tahun–tahun mendatang, juga usaha untuk merencanakan kesatuan umat manusia di masa datang, suatu masa di mana seorang bayi tidak lagi mati di pangkuan ibunya akibat keterlambatan imunisasi.
Kesehatan Anak
Angka kematian untuk anak-anak di bawah 5 tahun pada tahun 2000 lebih dari 12,2 milyard. Penyebab kematian di negara berkembang sebagian besar dapat dihindari kalau saja diberi kesempatan untuk memiliki fasilitas kesehatan yang sama dengan negara maju. Gap antara negara berkembang dan negara maju di bidang kesehatan anak dan bayi ini merupakan suatu contoh nyata ketidakadilan dunia di bidang kesehatan (Atmadja,2003).
WHO (2000) melaporkan, malnutrisi termasuk penyumbang besar bagi penyebab kematian dan kesakitan anak-anak, walaupun hal ini sering terabaikan. Di tahun 1990 lebih dari 30% anak-anak di dunia yang berusia di bawah 5 tahun memiliki berat badan (BB) yang kurang dari seharusnya. Sedangkan 43% dari anak-anak di negara berkembang, yaitu sekitar 230 milyard, memiliki BB yang kurang dari semestinya. Sebagai akibat kekurangan iodium (Hasibuan, 2004). Kurang iodium ini sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di 118 negara termasuk di dalamnya adalah Indonesia, 120.000 bayi lahir dengan keadaan mental terbelakang, kekerdilan, tuli dan bisu bahkan lumpuh. Sedangkan 25% dari anak di bawah usia 5 tahun di negara berkembang memiliki risiko kekurangan vitamin A.
Namun sekarang telah ada perbaikan dalam dunia kesehatan anak, yang terlihat sejak tahun 1993, angka kematian anak akibat panyakit yang telah dapat dicegah dengan vaksinasi mengalami penurunan sebesar 1,3 milyard jika dibandingkan dengan tahun 1985. Meskipun demikian masih ada sekitar 2,4 milyard anak-anak di bawah usia 5 tahun yang meninggal akibat cacar, neonatal tetanus, TBC, pertusis dipteri dan poliomyelitis (Agoestina, 1999) bahkan ada juga tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Sehingga kemajuan di bidang imunisasi ikut terkikis bahkan menjadi berbalik, karena kondisi ekonomi masyarakat yang miskin.
Setiap tahunnya, di negara berkembang, Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), khususnya pneumonia (radang paru karena masuknya benda asing) telah membunuh lebih dari 4 miliar anak di bawah usia 5 tahun (terjadi kematian setiap detik) dan hal ini juga menjadi penyebab utama kecacatan pada anak-anak. Pengurangan angka kematian sangatlah penting. Hal ini dapat dicapai antara lain dengan menghilangkan bakteri yang menjadi penyebab infeksi dengan antibiotik yang harganya sangat murah.
Penyakit diare, khususnya yang disebabkan kurangnya air bersih dan sanitasi lingkungan juga turut berperan serta atas kematian 3 milyard anak per tahun di negara berkembang (1 anak setiap 10 detik). Dan adanya hubungan yang sinergis antara kemiskinan dan kurangnya pengetahuan. Kematian akibat diare seharusnya dapat di cegah dengan pemberian garam rehidrasi oral yang hanya menghabiskan biaya sekitar 0,07 dolar AS (Sullivan, 1995).
Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja
Di dunia jumlah anak 2,3 milyard atau 40 % dari total penduduk berusia di bawah 20 tahun. Meskipun remaja dan dewasa muda pada umumnya sehat, tapi mereka mudah sekali terkena peyakit-penyakit sosial seperti eksploitasi, ketidakadilan dan risk behaviour. Jika anak-anak remaja menyia-nyiakan kesehatannya di usia muda, maka dunia akan kehilangan kesehatannya di masa mendatang. Pola tingkah laku yang di bentuk pada masa remaja sangat dipengaruhi oleh dunia orang dewasa dan akan sangat menentukan kehidupannya di masa datang serta kesehatan masyarakat dunia pada umumnya.
Di beberapa negara pelayanan kesehatan sering kali tidak mengacuhkan kebutuhan remaja, dan ada pemikiran bahwa pendidikan, pelatihan dan pekerjaan untuk orang muda belumlah sesuai. Edukasi, walaupun sering terabaikan, adalah hal yang vital dan merupakan penyumbang yang paling besar bagi peningkatan kesehatan anak dan remaja. Sekolah merupakan ajang untuk memberikan pengetahuan / pendidikan mengenai praktik fertilitas yang bijaksana, karena sekolah berkaitan erat dengan status kesehatan dan angka kehamilan.
Sebuah papan tulis dan sepotong kapur akan sangat berpengaruh seperti layaknya antibiotik dan kontrasepsi dalam perlindungan kesehatan. Perbaikan pendidikan bagi remaja pada umumnya dan remaja putri pada khususnya, adalah salah satu jalan yang paling efektif dalam mempromosikan dan meningkatkan taraf kesehatan bagi remaja putri yang nantinya akan melahirkan generasi penerus yang juga sehat.
Penyakit hubungan seksual paling sering diderita oleh orang muda yang aktif melakukan hubungan seksual tanpa memperhatikan resikonya. Rata-rata tertinggi untuk penyakit hubungan seksual terlihat pada kelompok umur 20-24 tahun, diikuti oleh kelompok umur 15-29 tahun dan 25-29 tahun. Namun demikian puncak umur pada anak wanita adalah lebih rendah dibanding anak pria (Atmadja,2003)
Pada saat yang sama, HIV dan AIDS memiliki efek yang menghancurkan orang muda. Di banyak negara berkembang, infeksi HIV terjadi pada orang muda usia 15-24 tahun. Secara keseluruhan diperkirakan 50% dari infeksi global HIV menyerang orang di bawah usia 20 tahun (WHO, 2000). Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2000) menemukan bahwa 26,35% dari 846 peristiwa pernikahan di Yogya, telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah, di mana 50% nya menyebabkan kehamilan. Motivasi utama melakukan hubungan seks adalah suka sama suka (3S) 76% di Jakarta dan 75,6% di Yogyakarta, selebihnya karena pengaruh teman / kebutuhan biologis (14%) dan kurang taat beragama (16%).
Atmadja Sardjana (2003) melaporkan bahwa dari 585 pasangan muda yang datang ke RSB Permata Hati, Malang 78% mengaku melakukan seksual pertama kali dengan pacarnya sebelum menikah, 64% diantaranya di lakukan ketika berumur 16 – 19 tahun, 85% nya melakukan hubungan seksualnya di rumahya sendiri. Dengan demikian harapan generasi penerus yang kelak bertugas sebagai pencari nafkah dan penyambung kehidupan dalam keadaan bahaya.
Banyak industriawan bermutu yang sebenarnya dapat membuat dunia menjadi lebih baik dan menentukan nasib negaranya, secara tragis mengalami kematian jauh lebih awal akibat terinfeksi HIV. Hal-hal lain yang membahayakan kesehatan orang muda adalah tembakau, alkohol, penyalahgunaan obat, eksploitasi, dan sering kali juga karena pekerjaan yang illegal, serta pertumbuhan anak-anak jalanan yang mengkhawatirkan.
Menurut perkiraan terakhir ada sekitar 100 milyard anak jalanan terkena risiko malnutrisi, penyakit infeksi, penyakit hubungan seksual termasuk HIV atau AIDS, dan eksploitasi kriminal dan seksual.
Strategi Pembinaan
Pembinaan kesehatan reproduksi remaja diarahkan untuk meningkatkan kesehatan reproduksi remaja sebagai bagian dari peningkatan status kesehatannya, dan peningkatan peran serta remaja secara aktif dalam kesehatan keluarga, dengan dukungan kerjasama lintas program dan lintas sektoral. Peningkatan kesehatan reproduksi remaja dilaksanakan melalui jaringan pelayanan upaya kesehatan dasar dan rujukan yang telah ada, sedangkan penanggulangan permasalahan psikososial yang berkaitan dengan aspek reproduksi dilaksanakan dengan memperbanyak forum konsultasi dan bimbingan kesehatan reproduksi melalui berbagai jalur pembinaan remaja. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: (1) Meningkatan kemampuan dan ketrampilan pengelola program di setiap jenjang administrasi dalam rangka penatalaksanaan kesehatan reproduksi remaja. Untuk itu dapat dilakukan dengan lebih mendorong tumbuhnya peran serta berbagai pihak dalam pelayanan, pembinaan dan bimbingan kesehatan reproduksi remaja, perlu dilaksanakan program yang komprehensif, koordinatif serta berkesinambungan. (2) Memprakarsai peningkatan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kesehatan reproduksi remaja, baik lintas sektor maupun lintas program. Dengan cara meningkatkan kemampuan di bidang manajerial dan tekhnologi para pengelola program dan petugas pelayanan di berbagai tingkat agar mampu membina kesehatan reproduksi remaja dengan menggunakan berbagai jalur, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat serta organisasi remaja seperti OSIS, Karang Taruna, Pramuka, Palang Merah Remaja dan sebagainya. (3) Mengembangkan program-program komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Hal ini dapat dilakukan melalui media cetak, media elektronik, media tradisional dan interpersonal, baik secara langsung maupun terintegrasi dengan program unit dan sektor lain, misalnya PSM, EPIM, BKKBN dan lain-lain. Menyelenggarakan pertolongan (dalam bentuk pelayanan kesehatan langsung) dan pengayoman (dalam bentuk bimbingan) bagi remaja dengan gangguan masalah reproduksi. Melaksanakan fungsi rujukan dalam penanggulangan masalah kesehatan reproduksi remaja.
Sebagai akhir dari buah pikiran ini, yang dapat direnungkan dan dilaksanakan sesegera mungkin yaitu: (1) Meningkatkan peran aktif remaja untuk lebih mengetahui, memahami dan memecahkan masalah kesehatan reproduksi sebagai bagian dari kesehatan diri dan lingkungannya melalui penyuluhan. (2) Mengembangkan perangkat pemantauan dan melakukan monitoring serta evaluasi. (3) Melakukan studi-studi operasional terpilih (pengumpulan data dasar kesehatan reproduksi untuk menilai keberhasilan program, menguji sensitifitas indicator. (4) Melakukan studi-studi untuk mencari metode intervensi yang tepat guna.
Hal-hal tersebut di atas sangatlah penting untuk dilakukan guna mengatasi masalah-masalah kesehatan pada anak dan remaja pada umumnya serta demi kelangsungan hidup generasi mendatang yang sehat, kuat, kreatif dan cerdas.


Selasa, 12 April 2011

Martikulasi Biges


BIGES story
By : Nurfaisah
           
            Kuliah ya,, itulah pengalaman terbaru yang aku alami sejak pertama menginjakkan kaki di kampus STIKes BIGES,,  Setelah proses OSPEK (orientasi pengenalan kampus) yang cukup melelahkan dan menguras tenaga, selesai. Seluruh teman-teman sesame MABA pun sangat gembira karna kegiatan yang melelahkan itupun selesai kini dan tiba saatnya Martikulasi babak baru dalam cerita perkuliahanku pada hari rabu tepatnya tgl 17 november 2010 aku kecelakaan diperjalanan menuju kampus bersama seorang rekanku yang bernama Mira, kami kecelakaan yang cukup parak karna sebagian dari tubuh kami mengalami lecet dan motor yang pada saat itu kami gunakan pun mengalami kerusakan yang cukup parah. Tapi itulah cerita lucu kami karna setiap dosen mengabsen aku selalu meniup tanganku yang sakit seolah ingin mencari sensasi. Dari situlah aku mendapat banyak teman, teman yang kasian melihatku karna aku selalu menunjukkan ekspresi wajah yang mengharukan hehe..
            Martikulasi pun berakhir dan tiba waktunya penentuan kelas dan Alhamdulillah aku mendapat kelas B awalnya aku piker dikelas ini aku tidak akan betah karena aku belum punya teman tapi untunglah tidak berselang beberapa lama aku berkenalan dengan Mira,kiki,Sinar,agus,indra,zazkia,dewi,serta Jayanti yang sering aku sapa dengan sebutan bu lurah itu karena beliau adalah istri seorang pak lurah jadi aku manggilnya juga bu lurah. kamipun berteman cukup akrab dan sangat dekat.  Waktupun semakin berlalu aku jadi akrab dengan semua teman dikelasku ternyata perkiraanku bahwa mereka bukan teman yang baik ternyata salah justru mereka adalah teman-teman yang baik terutama Bunda Rini yang selalu memberikan arahan yang baik untuk kami.
            Perkuliahan pun berlanjut dipertengahan semester dosen lama kami berganti beliau mengutus rekannya untuk menggantikannya mengajar di kelas awalnya aku pikir dosen baru ini cuek ternyata orangnya cukup baik pada saat kami kenal akrab. Nilai yang keluarpun lumayan bagus-bagus dan tidak mengecewakan  aku bersyukur kepada Allah swt yang telah menuntun aku dalam setiap langkah kakiku. Sekian dulu ceritanya nanti lain waktu kita lanjutkan kembali.. terimakasih atas perhatiannya.